Senin, 24 Januari 2011

Pangan Tradisional, Pengembangan Sebagai Pangan Fungsional


Sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia ini menunjukkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan berbagai bangsa untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya pada awalnya berbasis pada sumberdaya alam yang ada disekitarnya. Demikian halnya dengan nenek moyang kita. Mereka telah mempunyai pengalaman panjang dan turun temurun dalam menyeleksi berbagai sumberdaya hayati disekitarnya, yang mereka anggap dan yakini bermanfaat bagi peningkatan kesehatan dan terapi penyakit. Pangan tradisional adalah makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, dengan citarasa khas yang diterima oleh masyarakat tersebut. Bagi masyarakat Indonesia umumnya amat diyakini khasiat aneka pangan tradisional, seperti tempe, bawang putih, madu, kunyit, jahe, kencur, temu lawak, asam jawa, sambiloto, daun beluntas, daun salam, cincau, dan aneka herbal lainnya. Jamu sebagai racikan aneka herbal berkhasiat sangat popular di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
Kemajuan iptek pangan dan farmasi yang pesat telah memberikan bukti ilmiah bahwa sebagian besar jenis-jenis pangan yang diyakini nenek moyang kita bermanfaat untuk peningkatan kesehatan dan pengobatan. Sebagain besar zat-zat bioaktif bahan-bahan tersebut juga telah dapat diidentifikasi dan diisolasi. Kemajuan ini mendorong lahirnya berbagai produk pangan fungsional dengan berbagai klaim khasiat dan manfaatnya. Di masa datang kita tentu tidak ingin menggantungkan diri pada produk pangan fungsional yang diproduksi di mancanegara tetapi bahan bakunya berasal dari kita, atau diproduksi dengan lisensi/paten dari mancanegara padahal komponen bioaktifnya berasal dari sumberdaya hayati pangan kita.
Dalam rangka pengembangan pangan tradisional dengan peningkatan mutu dan keamanannya harus tetap mengacu pada food habbit atau kebiasaan makan, dengan cara; (1) setiap masukan hal-hal baru akan mudah diterima bila ada kesamaan dengan ciri yang telah ada dan (2) atribut yang menjadi ciri pangan tradisional sebaiknya tetap dipertahankan. Peningkatan mutu, keamanan, dan prestise pangan tradisional dapat dilakukan dengan upaya-upaya : (1) pemilihan bahan mentah yang baik, (2) pemilihan bahan tambahan pangan yang baik, (3) penanganan yang lebih higienis, dan (4) penyajian/penampilan yang lebih menarik.
Pangan tradisional meliputi berbagai jenis bahan pangan sepert;i bahan asal tanaman (kacang-kacangan, sayuran hijau, umbi-umbian, buah-buahan), asal hewani (kerang, ikan, unggas), dan bahan rempah-rempah (jahe, kunyit, ketumbar, salam, sereh, beluntas, sirih, pinang, dll).
Rempah-rempah umumnya mengandung komponen bioaktif yang bersifat antioksidan (zat pencegah radikal bebas yang menimbulkan kerusakan pada sel-sel tubuh), dan dapat berinteraksi dengan reaksi-reaksi fisiologis, sehingga mempunyai kapasitas antimikroba, anti pertumbuhan sel kanker, dan sebagainya. Dari kelompok bahan pangan rempah-rempah, jahe merupakan komoditi yang paling banyak digunakan. Luasnya penggunaan jahe disebabkan karena aroma yang khas, dapat diterima, dan dinikmasi dalam lauk, kue, manisan, permen, maupun minuman. Secara ilmiah jahe telah diteliti mampu meningkatkan aktifitas salah satu sel darah putih (Zakaria et al., 1999). Hasil ini mendukung data empiris yang dipercaya masyarakat bahwa jahe mempunyai kemampuan sebagai anti masuk angin, suatu gejala menurunnya daya tahan tubuh sehingga mudah terserang oleh virus (influenza). Jahe juga memiliki aktivitas antioksidan. Studi pada mahasiswa yang diberi minuman jahe menunjukkan adanya perbaikan sistem imun (kekebalan tubuh) (Zakaria et al., 2000).
Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber utama serat makanan, vitamin C, asam folat, karotenoid, flavonoid, dan senyawa-senyawa spesifik lainnya. Semua komponen yang terdapat pada sayuran dan buah-buahan telah terbukti mempunyai satu atau lebih sifat-sifat. Apabila konsumsi sayuran dan buah-buahan dikombinasikan dengan tambahan konsumsi rempah-rempah yang tinggi kandungan senyawa bioaktifnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa efek sinergis dalam mencegah penyakit degeneratif (jantung koroner, darah tinggi, diabetes, osteoporosis, dan kanker) akan lebih besar.
Saat ini pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh. Bahkan bila dimungkinkan, pangan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu. Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional (functional foods), yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat dunia. Definisi pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Serta dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Selain tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya.
Kelompok senyawa yang dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu di dalam pangan fungsional adalah senyawa-senyawa alami di luar zat gizi dasar (karbohidrat, protein, dan lemak) yang terkandung dalam pangan yang bersangkutan, yaitu: (1) serat makanan (dietary fiber), (2) oligosakarida, (3) gula alkohol (polyol), (4) asam lemak tidak jenuh jamak (polyunsaturated fatty acids = PUFA), (5) peptida dan protein tertentu, (6) glikosida dan isoprenoid, (7) polifenol dan isoflavon, (8) kolin dan lesitin, (9) bakteri asam laktat, (10) phytosterol, dan (11) vitamin dan mineral tertentu.
Sejak tahun 1984, pemerintah Jepang telah menyusun suatu alternatif pengembangan pangan fungsional dengan tujuan untuk memperbaiki fungsi-fungsi fisiologis, agar dapat melindungi tubuh dari penyakit, khususnya penyakit-penyakit degeneratif.
Konsep isson ippin (satu daerah/desa, satu produk), penelitian berkesinambungan, tuntas terfokus pada komoditi unggulan, sistem bimbingan dan pengawasan yang efektif, penjaminan harga, promosi, dan pembentukan image, serta penyertaan dalam paket-paket pariwisata merupakan contoh-contoh strategi yang telah cukup sukses membawa produk-produk pangan tradisional tetap menjadi primadona ditempat asalnya.
Satu fenomena lagi yang tidak lepas dari strategi pengembangan pangan tradisional Jepang adalah pemanfaatan akan keterikatan emosional masyarakat terhadap hasil karya anak bangsa. Rasa cinta dan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat Jepang terhadap produknya sendiri merupakan potensi pasar yang tidak perlu diragukan lagi. Lebih baiknya lagi adalah rasa kepercayaan dan cinta ini dijawab secara gigih oleh pihak produsen untuk menghasilkan produk-produk dengan mutu yang tinggi. Keterikatan inilah yang sulit ditembus oleh pelaku pasar luar negeri, sehingga secara tidak sadar menjadi proteksi alamiah yang sangat efektif.
Dapat kita simpulkan bahwa Indonesia juga mempunyai peluang yang sangat besar untuk mengembangkan produk pangan tradisional dengan berbasis pada sifat-sifat fungsionalnya. Mengapa kita tidak mulai dengan menggalang kerjasama terpadu, tuntas, dan terfokus, sehingga menghasilkan produk-produk yang secara nyata dapat meningkatkan prestise pangan tradisional kita yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan para petani. Dari aspek sosial, bagaimana caranya menumbuhkan rasa cinta dan kepercayaan masyarakat terhadap produksi anak bangsa ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar